NPM : 36111704
Geopolitik Indonesia
Geopolitik secara etimologi berasal dari kata geo (bahasa Yunani) yang
berarti bumi yang menjadi wilayah hidup.
Sedangkan politik dari kata polis yang berarti kesatuan masyarakat yang berdiri
sendiri atau negara; dan teia yang berarti
urusan (politik) bermakna kepentingan umum warga negara suatu bangsa (Sunarso,2006:
195).
Geopolitik adalah suatu studi yang mengkaji
masalah-masalah geografi, sejarah dan ilmu sosial, dengan merujuk kepada politik
internasional. Geopolitik mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah
geografi, yang mencakup lokasi, luas serta sumber daya alam wilayah tersebut.
Geopolitik mempunyai 4 unsur yang pembangun, yaitu keadaan geografis, politik
dan strategi, hubungan timbal balik antara geografi dan politik, serta unsur
kebijaksanaan. Negara tidak akan pernah mencapai persamaan yang sempurna dalam
segala hal. Keadaan suatu negara akan selalu sejalan dengan kondisi dari
kawasan geografis yang mereka tempati. Hal yang paling utama mempengaruhi keadaan
suatu negara adalah kawasan yang berada di sekitar negara itu sendiri, atau
dengan kata lain, negara-negara di sekitarnya / negara tetangga merupakan
pengaruh yang paling besar. Perintis aliran geopolitik ialah Frederich Ratzel,
yang menyatakandalam bukunya “Political Geography” (1897) bahwa negara
merupakan organisme yang hidup dan supaya dapat hidup subur dan kuat maka
memerlukan ruangan untuk hidup, dalam bahasa Jerman disebut Lebensraum.
Geopolitik Indonesia sebagai fenomena
atau gejala sosial harus dilihat sebagai gejala dinamis, yang selalu
mengusahakan persatuan dan kesatuan. Persatuan merupakan suatu proses, yaitu
usaha ke arah berastu untuk menjadikan keseluruhan kea rah satu kesatuan yang
tidak terpisahkan, atau dengan istilah lain sifat-sifat dan keadaan yang sesuai
dengan hakikat satu, yaitu mutlak tidak dapat terbagi dan terpisahkan dari yang
lain. Dan sebagai gejala sosial yang dinamis, geopolitik harus selalu
berkembang terus yang konsisten dan relevan, dengan berlandaskan konsepsi dasar
dan konsepsi pelaksana geopolitik Indonesia.
Bangsa Indenesia membutuhkan suatu
konsep geopolitik khusus untuk menyiasati keadaan / kondisi Negara Indonesia,
yang terdiri dari ribuan pulau dan sepanjang 3,5 Juta Mil. Konsep geopolitik
itu adalah Wawasan Nusantara. Berbeda dengan pemahaman geopolitik negara lain
yang cenderung mengarah kepada tujuan ekspansi wilayah, konsep geopolitik
Indonesia, atau wawasan Nusantara justru bertujuan untuk mempertahankan
wilayah. Sebagai negara kepulauan yang luas, Bangsa Indonesia
beranggapan
bahwa laut yang dimilikinya merupakan sarana “penghubung” pulau, bukan
“pemisah”.
Sehingga, walaupun
terpisah-pisah, bangsa Indonesia tetap menganggap negaranya sebagai satu
kesatuan utuh yang terdiri dari “tanah” dan “air”, sehingga lazim disebut
sebagai “tanah air”.
Tujuan dari
Wawasan Nusantara dibagi menjadi dua tujuan, yaitu tujuan nasional dan tujuan
ke dalam. Tujuan nasional dapat dilihat dalam Pembukaan UUD ‟45. Pada UUD ‟45
dijelaskan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia adalah untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan
sosial.
Sedangkan tujuan yang kedua, yaitu tujuan ke dalam, artinya mewujudkan
kesatuan segenap aspek kehidupan baik alamiah
maupun sosial. Maka dapat disimpulkan bahwa tujuan bangsa Indonesia adalah menjunjung
tinggi kepentingan nasional, serta kepentingan kawasan untuk menyelenggarakan dan membina kesejahteraan,
kedamaian dan budi luhur serta martabat manusia di seluruh dunia.
Untuk mencapai tujuan tersebut,
fungsi wawasan Indonesia dirumuskan
untuk menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran, paham, semangat
kebangsaan Indonesia. Serta memupuk rasa cinta tanah air sehingga sadar akan
hak dan kewajiban sabagai warga negara yang hidup bersama dalam suatu bangsa yang
multicultural dan plural.
Secara umum wawasan nasional berarti cara pandang
suatu bangsa tentang diri dan lingkungannya yang dijabarkan dari dasar falsafah
dan sejarah bangsa itu sesuai dengan posisi dan kondisi geografi negaranya
untuk mencapai tujuan atau cita-cita nasionalnya. Sedangkan wawasan nusantara
memiliki arti cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta sesuai dengan geografi
wilayah nusantara yang menjiwai kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan dan
cita-cita nasionalnya.
A.
Pembahasan
Indonesia, sebagai sebuah negara kepulauan yang
amat luas, memiliki berbagai masalah berkaitan dengan kondisinya itu. Beberapa
faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah teritorial ini antara lain, dasar geografi,
demografi, serta kondisi sosial masyarakat dengan negara tetangga.
Malaysia dan Indonesia adalah dua negara tetangga yang
sangat dekat, bukan hanya dari segi letak geografis tetapi dari segi budaya dan
asal-usul bangsanya. Akan tetapi, walau serumpun dengan bahasa yang mirip,
hubungan kedua negara tidak bisa dikatakan selalu rukun dan manis. Sejarah
kedua bangsa pernah dihiasi tinta hitam peperangan, yang dikenal dengan
Konfrontasi Malaysia Indonesia pada tahun 1962-1965. Beberapa kasus sengketa
perbatasan wilayah pun pernah terjadi antara keduanya. Baik itu yang dimenangkan
oleh Indonesia ataupun oleh Malaysia. Berikut adalah beberapa kasus
perselisihan antara Indonesia dan Malaysia terkait geopolitik.
Terjadinya persengketaan Pulau Sipadan dan Ligitan
antara Indonesia dan Malaysia dikarenakan Malaysia menganggap Sipadan dan
Ligitan itu adalah milik Malaysia. Asal muasalnya adalah Pulau Sipadan dan
Ligitan tersebut dibagi lewat perjanjian konvensi pada tahun 1891 yaitu antara
negara Belanda dan Inggris. Namun disini Inggris lah yang pada akhirnya
melakukan eksploitasi terhadap Sipadan dan Ligitan dengan membangun aktivitas
penangkaran penyu dan ekspoitasi sumber daya alam serta membangun resort pada
tahun 1988. Seiring dengan dimerdekakannya Malaysia, apa yang dimiliki oleh
Inggris dianggap oleh Malaysia sebagai milik Malaysia. Karena Inggris
memberikan daerah penjajahanya kepada pemerintahan Malaysia sebagai hadiah
untuk kemerdekaannya. Malaysia berasumsi bahwa apa yang telah Inggris berikan
adalah miliknya, dan Malaysia pun melanjutkan penangkaran penyu, sumber daya
alam, dan membangun resort pada tahun 1988. Namun hal ini ternyata menimbulkan
kontroversi antara pihak Malaysia dan Indonesia. Indonesia mengklaim bahwa
Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan daerah kedaulatan Indonesia, bukan milik
Malaysia. Secara ekonomis, Malaysia yang telah melakukan pembangunan di kedua
pulau tersebut menganggap bahwa hak untuk memiliki Pulau Sipadan dan Ligitan
adalah hak Malaysia. Terjadilah perebutan wilayah yang merupakan salah satu
aspek geopolitik antara kedua negara yang tidak ingin wilayahnya diambil oleh
negara lain.
Permasalahan ini pun tidak bisa diselesaikan oleh
kedua belah pihak sehingga sengketa kedua pulau ini dibawa ke Mahkamah Internasional.
Di mahkamah internasional, kedua pihak baik Indonesia maupun Malaysia melakukan
berbagai usaha persuasif dan meyakinkan mahkamah internasional bahwa mereka
berhak untuk memiliki kedua pulau tersebut.
Indonesia dan Malaysia memasukan Pulau Sipadan dan
Ligitan menjadi wilayah kedua negara tersebut. Kemudian Indonesia dan Malaysia
menyepakati bahwa masalah perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan dibawa dalam
keadaan setatus quo. Namun disini terjadimasalah baru, Indonesia dan Malaysia
mengartikan berbeda. Malaysia malah mengartikan bahwa status quo adalah masih
dibawah Malaysia, dan Malaysia pun malah membangun resor parawisata yang
dikelola oleh pihak swasta Malaysia sampai masalah ini selesai. Disini pula
Malaysia memasukan pulau Sipadan dan Ligitan itu kedalam peta nasionalnya pada
tahun 1969. Disini berbeda halnya dengan Indonesia. Dalam status quo ini,
Indonesia salah mengartikan. Disini malah Indonesia mengira kedua pulau Sipadan
dan Ligitan tidak boleh ditempati, dan tidak boleh diduduki sampai masalah
tersebut selesai.
Pada tanggal 3-12 Juni 2002 Indonesia menyelesaiakan
persidangan anatara Indonesia dan Malaysia yang digelar di Mahkamah
Internsional (International Court Justice), di Den Haag, Belanda. Pulau Sipadan
dan Ligitan menjadi masalah penting bagi Indonesia dan Malaysia. Konflik
mencuat pada tahun 1969 ketiaka Indonesia dan Malaysia membahas permasalahan
perbedaan penafsiran yakni perjanjian yang dibuat pada tahun 1891 yang dibuat
oleh dua kolonialis. Dimaman Inggris dan Belanda membagi Kalimantan.
Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda
dari delagasi Indonesia menunding bahwa Malaysia telah melakukan kesalahan
dimana Malaysia melakukan aktivitas di Pulau Sipadan dan Ligitan. Kesepakatan
yang dibuat oleh kedua Negara Indonesia dan Malaysia bahwa tidak ada aktivitas
yang dilakukan di pulau itu karena masih dalam sengketa. Angkatan laut Malaysia
datang untuk mengamankan Pulau tersebut, akan tetapi angkatan laut bukan saja
menjaga Pulau Sipadan dan Ligitan. Tetapi membangun penangkaran penyu dan
tempat parawista. Indonesia mengkalim bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan layak
masuk kedalam peta kedaulatan Indonesia. Namun disini Mahkamah Internasional
cenderung memenangkan Negara yang lebih dahulu melakukan aktivitas di atas
sebuah kekuasaan. Disini Malaysia melakukan aktivitas terlebih dahulu.
Pada tahun 1969
Indonesia dan Malaysia melakukan kesepakatan bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan
adalah pulau yang masih sengketa. Dan kedua Negara tersebut mengetahui bahwa
pulau yang menjadi sengketa tidak boleh dikenai aktivitas oleh kedua Negara.
Namun kenyataanya pada tahun 1988 Malaysia melakukan aktivitasnya di Pulau
Sipadan dan Ligitan. Indonesia berargument bahwa pulau yang menjadi sengketa
tidak boleh dikenai aktivitas. Namun disini Malaysia banyak melakukan aktivitas
di Pulau Sipadan dan Ligitan. Dan itu yang menjadi argument Indonesia untuk
mendapatkan Pulau Sipadan dan Ligitan. Namun pihak Malaysia tidak mau kalah,
Malaysia juga mengajukan argument. Yaitu argument rantai kepemilikan. Dimana
Malaysia menerima kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan chain of
title (rantai kepemilikan), dan melakukan perjanjian pada Sultan Sulu dengan
Spanyol tentang kedua pulau tersebut. Melihat perdebatan tersebut Mahkamah
Internasional melakukan penyelidikan atas kasus sengketa Pulau Sipadan dan
Ligitan ini baik secara historis maupun sacara geografis.
Pada abad ke 19 Pulau
Sipadan dan Ligitan adalah perebutan Inggris dan Belanda. Karena menurut
Belanda Pulau Sipadan dan Ligitan masih termasuk diwilayah jajahan yang dibuat
pada tahun 1824. Sebaliknya dengan Inggris bahwa pulau Sipadan dan Ligitan
masih dalam wilayah jajahan Inggris. Pertikaian antara Inggris dan Belanda
terjadi sampai pada tahun 1891. Dan pada akhirnya kedua Negara tersebut membuat
kesepakatan menentukan wilayah antara borneo Inggris dan borneo Belanda.
Perundingan antara Inggris dan Belanda pun akhirnya menetapkan Sipadan dan
Ligitan adalah garis perbatasan, dan pihak Belanda tidak lagi mempersoalkan
masalah tersebut. Maka dari perundingan itu jelaslah bahwa Pulau Sipadan dan
Ligitan menjadi milik Inggris. Disini Indonesia berpegang pada perjanjian
Inggris dan Belanda yang berisi tentang pembagian wilayah Kalimantan. Yaitu
utara milik Inggris sedangkan selatan milik Belanda. Pada bagian timur, yang
ditarik menjadi dua bagian di Pulau Sibatik, Belanda menempatkan Pulau Sipadan
dan Ligitan menjadi bagian dari wilayah Belanda. Karena Belanda pernah menjajah
Indonesia, dan Inggris pernah menjajah Malaysia. Jadi dikedua Negara
menyepakati pernanjian atas kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan.
Pada tahun 1954 borneo
menjadi koloni Inggris. Inggris mengumumkan bahwa dari pangkal garis lurus
ujung Pulau Sibatik serta Pulau Sipadan dan Ligitan adalah milik Inggris.
Borneo pun menjadi bagian dari Malaysia. Pada tahun 1963 Malaysia mengumumkan
bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan termasuk wilayah Malaysia karena wilayah
tersebut telah menjadi wilayah pelantar laut baru yang berdasarkan pada
perjanjian- perjanjian undang- undang padda tahun 1963. Disinilah pihak
Malaysia mengklaim bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan dari wilayah
Malaysia.
Pada kasus sengketa antara Indonesia dan Malaysia.
Kasus ini dibawa ke Dewan Tinggi ASEAN. Yakni guna untuk menyelesaikan
perselisihan antara Indonesia dan Malaysia. Disini Malaysia menolak bantuan
dari Dewan Tinggi Asean karena Malaysia beranggapan bahwa terlibat sengketa
pada Singapore untuk klaim pulau batu puteh. Kemudian Indonesia mengambil
sikap, bahwa masalah ini harus diselesaikan pada Dewan Tinggi ASEAN. Pada tahun
1998 kasus sengketa anatara kedua Pulau Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ
(International Court of Justice). Pada tanggal 17 Desember 2002 ICJ
mengeluarkan hasil sengketa yang merebutkan kedua pulau tersebut. Dan hasil
yang di keluarkan oleh ICJ kasus sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan hasilnya
yang digunakan adalah hasil voting. Hasil yang di dapat dari voting adalah
Malaysia menang. Karena pihak Malaysia lebih dahulu melakukan aktivitas
diwilayah sengketa. Padahal dalam perjanjian antara Indonesia dan Malaysia
dalam status quo tidak ada yang melakukan kegiatan dipulau sengketa. Pihak
Malaysia mengirim tentaranya ke Pulau yang bersengketa, namun selain mengirim
tentara, Malaysia malah membuat tempat kegiatan pariwisata.
Disini pihak Indonesia kecewa pada pikah Malaysia
karena tidak konsisten pada perjanjian tersebut. Permasalahn ini dibawa ke
Mahkamah Internasionla, dan hasilnya pihak Malaysia yang menang, karena siapa
yang lebih dahulu melakukan aktivitas pulau tersebut maka, pihak tersebut yang
menang. Selain itu, Indonesia tidak memiliki peta Pulau Sipadan dan Ligitan,
maka ditetapkanlah, Malaysia yang yeng berhak mendapatkan Pulau Sipadan dan
Ligitan. Jadi akhirnya Malaysia mendapatkan Pulau Sipaddan dan Ligitan sebagai
aset negaranya. Dengan slogan Ganyang Malaysia. Pada saat itu, diplomatic dalam
keadaan krisis di kedua Negara Indonesia dan Malaysia. Lepasnya Pulau Sipadan
dan Ligitan ini adalah hasil dari kegagalan diplomasi Indonesia.
Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan yang direbutkan
Indonesia dan Malaysia malaui jalur hukum. Prosenya berjalananya dengan baik.
Penyelesaian yang dilakukan oleh Mahkamah Internasional pun, merupakan
keberhasilan diplomasi dari pihak Indonesia dan Malaysia. Karena pihak Malaysia
dan Indonesia mempercayakan sepenuhnya masalah ini ke Mahkamah Internasional.
Cara ini pun memberikan dampak yang begitu besar bagi pihak Asia Tenggara.
Dapat dilihat bahwa cara diplomasi ini berjalan dengan baik, yang menyerahkan
masalah ini ke pihak Mahkamah Internasional dan mempercayai sepeunuhnya oleh
pihak Mahkamah apa pun hasil yang didapat oleh pihak Indonesia ataupun
Malaysia.