Sebelum
kedatangan bangsa barat, Nusantara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan
internasional. Pada saat itu terdapat dua jalur perniagaan internasional yang
digunakan oleh para pedagang, jalur darat atau lebih dikenal dengan “Jalur
Sutra” dan jalur laut. Melalui jalur perniagaan yang kedua itulah komoditi
ekspor dari wilayah Nusantara yang antara lain berupa: rempah-rempah, kayu
wangi, kapur barus dan kemenyan, sampai di pasaran India dan kekaisaran Romawi
(Byzantium).
Pada
masa sebelum kedatangan bangsa barat, ada dua kerajaan utama di Nusantara yang
mempunyai andil besar dalam meramaikan perniagaan Internasional, yaitu Sriwijaya
dan Majapahit. Dalam maraknya perniagaan tersebut belum ada mata uang baku yang
dijadikan nilai standar. Meskipun masyarakat telah mengenal mata uang dalam
bentuk sederhana sebagai alat pembayaran.
Sementara
itu pada abad ke-15 bangsa-bangsa Eropa sedang berupaya memperluas wilayah
penjelajahannya di berbagai belahan dunia, termasuk Asia dan Nusantara.
Penjelajahan tersebut dipelopori oleh Spanyol dan Portugis yang kemudian diikuti oleh Belanda, Inggris dan Perancis sejak jatuhnya Konstantinopel ke tangan kekuasaan Turki Usmani (1453). Pada abad ke-16 dan 17 berbagai perkembangan telah terjadi di Eropa, antara lain munculnya paham merkantilisme, yaitu suatu sistem ekonomi yang memusatkan wewenang pengaturan ekonomi di tangan pemerintah. Dengan merkantilisme mereka menghimpun dana untuk mendorong kegiatan penjelajahan. Selanjutnya pada akhir abad ke-18 Revolusi Industri telah berlangsung di Eropa. Kegiatan industri berkembang dan hasil produksi meningkat sehingga mendorong kegiatan ekspor ke wilayah Asia, juga Amerika. Pesatnya perdagangan di Eropa memicu tumbuhnya lembaga pemberi jasa keuangan yang merupakan cikal-bakal lembaga perbankan modern, antara lain seperti Bank van Leening di Belanda. Kemudian secara bertahap bank-bank tertentu di wilayah Eropa seperti Bank of England (1773), Riskbank(1809), Bank of France (1800) berkembang menjadi Bank Sentral.
Ramainya perdagangan di Asia pada abad ke-15 telah menjadi daya tarik yang mengantarkan kehadiran ekspedisi perdagangan bangsa-bangsa Eropa di Nusantara.
Penjelajahan tersebut dipelopori oleh Spanyol dan Portugis yang kemudian diikuti oleh Belanda, Inggris dan Perancis sejak jatuhnya Konstantinopel ke tangan kekuasaan Turki Usmani (1453). Pada abad ke-16 dan 17 berbagai perkembangan telah terjadi di Eropa, antara lain munculnya paham merkantilisme, yaitu suatu sistem ekonomi yang memusatkan wewenang pengaturan ekonomi di tangan pemerintah. Dengan merkantilisme mereka menghimpun dana untuk mendorong kegiatan penjelajahan. Selanjutnya pada akhir abad ke-18 Revolusi Industri telah berlangsung di Eropa. Kegiatan industri berkembang dan hasil produksi meningkat sehingga mendorong kegiatan ekspor ke wilayah Asia, juga Amerika. Pesatnya perdagangan di Eropa memicu tumbuhnya lembaga pemberi jasa keuangan yang merupakan cikal-bakal lembaga perbankan modern, antara lain seperti Bank van Leening di Belanda. Kemudian secara bertahap bank-bank tertentu di wilayah Eropa seperti Bank of England (1773), Riskbank(1809), Bank of France (1800) berkembang menjadi Bank Sentral.
Ramainya perdagangan di Asia pada abad ke-15 telah menjadi daya tarik yang mengantarkan kehadiran ekspedisi perdagangan bangsa-bangsa Eropa di Nusantara.
Terlebih
lagi setelah tumbuhnya berbagai kota pelabuhan emporium di sepanjang jalur
perniagaan laut, diantaranya adalah Malaka. Kedatangan bangsa Barat turut
memperbanyak jenis mata uang yang beredar di wilayah Asia Tenggara. Hal
tersebut menyebabkan peranan mata uang lokal semakin terdesak karena beredar
tanpa aturan dan kontrol yang jelas. Uang kepeng Cina, Cassie, mendominasi Jawa
dan Real Spanyol muncul sebagai mata uang barat yang paling digemari secara
luas. Pada 1511 Portugis berhasil menguasai Malaka dan terus bergerak ke arah
timur menuju sumber rempah-rempah di Maluku.
Disana
mereka menghadapi bangsa Spanyol yang datang melalui Filipina. Kemudian bangsa
Belanda dengan diperkuat armada tentaranya juga berusaha menguasai
sumber-sumber komoditi perdagangan di Jawa dan Nusantara. Dengan
mengibarkan bendera VOC yaitu perusahaan induk Unit Khusus Museum Bank
Indonesia: Sejarah Pra Bank Indonesia penghimpun perusahan-perusahaan dagang
Belanda, mereka mengukuhkan kekuasaanya di Batavia pada 1619. Untuk memperlancar
dan mempermudah aktifitas perdagangan VOC di Nusantara, pada 1746 didirikan De
Bank van Leening dan kemudian berubah menjadi De Bank Courant en Bank van
Leening pada 1752. Bank van Leening merupakan bank pertama yang beroperasi di
Nusantara. Pada akhir abad ke- 18, VOC telah mengalami kemunduran, bahkan
kebangkrutan. Maka kekuasaan VOC di Nusantara diambil alih oleh Pemerintah
Kerajaan Belanda. Setelah masa pemerintahan Herman William Daendels dan
Janssen, Hindia Timur akhirnya jatuh ke tangan Inggris.
Maka
tibalah masa pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles. Pada periode Raffles,
mata uang Rijksdaalder ditarik dari peredaran dan diganti dengan mata uang Real
Spanyol yang selanjutnya pada 1813 diganti dengan mata uang Ropij Jawa. Raffles
tidak lama bertahan di Hindia Timur (1811 – 1815), karena setelah usainya
perang
melawan Perancis (Napoleon), Inggris dan Belanda membuat kesepakatan bahwa semua wilayah Hindia Timur diserahkan kembali kepada Belanda. Sejak saat itu Hindia Timur disebut sebagai Hindia Belanda (Nederland Indie) dan diperintah oleh Komisaris Jenderal (1815 – 1819) yang terdiri dari Elout, Buyskes dan van der Capellen. DJB berdasarkan Oktroi I – VIII (1828 – 1922) Gagasan pembentukan bank sirkulasi untuk Hindia Belanda dicetuskan menjelang keberangkatan Komisaris Jenderal Hindia Belanda Mr. C. T. Elout ke Hindia Belanda.
melawan Perancis (Napoleon), Inggris dan Belanda membuat kesepakatan bahwa semua wilayah Hindia Timur diserahkan kembali kepada Belanda. Sejak saat itu Hindia Timur disebut sebagai Hindia Belanda (Nederland Indie) dan diperintah oleh Komisaris Jenderal (1815 – 1819) yang terdiri dari Elout, Buyskes dan van der Capellen. DJB berdasarkan Oktroi I – VIII (1828 – 1922) Gagasan pembentukan bank sirkulasi untuk Hindia Belanda dicetuskan menjelang keberangkatan Komisaris Jenderal Hindia Belanda Mr. C. T. Elout ke Hindia Belanda.
Kondisi
keuangan di Hindia Belanda dianggap telah memerlukan penertiban dan pengaturan
sistem pembayaran dalam bentuk lembaga bank. Pada saat yang sama kalangan pengusaha
di Batavia, Hindia Belanda, telah mendesak didirikannya lembaga bank guna
memenuhi kepentingan bisnis mereka. Meskipun demikian gagasan tersebut baru
mulai diwujudkan ketika Raja Willem I menerbitkan Surat Kuasa kepada Komisaris
Jenderal Hindia Belanda pada 9 Desember 1826. Surat tersebut memberikan
wewenang kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk membentuk suatu bank
berdasarkan wewenang khusus berjangka waktu, atau lazim disebut Oktroi. Dengan
surat kuasa tersebut, pemerintah Hindia Belanda mulai mempersiapkan berdirinya
DJB. Pada 11 Desember 1827, Komisaris Jenderal Hindia Belanda Leonard Pierre
Joseph Burggraaf Du Bus de Gisignies mengeluarkan Surat Keputusan No. 28
tentang Oktroi dan Ketentuan-Ketentuan mengenai DJB.
Kemudian
pada 24 Januari 1828 dengan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda
No. 25 ditetapkan Akte Pendirian De Javasche Bank. Pada saat yang sama juga
diangkat Mr. C. de Haan sebagai Presiden DJB dan C.J. Smulders sebagai
Sekretaris DJB. Maka terbentuklah De Javasche Bank. Oktroi merupakan ketentuan
dan pedoman b agi DJB dalam menjalankan usahanya. Oktroi DJB pertama berlaku
selama 10 tahun sejak 1 Januari 1828 sampai 31 Desember 1837 dan diperpanjang
sampai dengan 31 Maret 1838. Pada 11 Maret 1828 DJB mencetak uang kertas pertamakali
senilai ƒ 1. 120.000,- dengan pecahan ƒ 1000, ƒ 500, ƒ 300, ƒ 200, ƒ100, ƒ 50,
ƒ 25. Sedangkan untuk mengeluarkan nilai yang lebih kecil, Direksi bank
diwajibkan mengajukan permohonan pada Gubernur Jenderal yang kemudian akan
dilanjutkan ke Negeri Belanda. Pada tahun kedua, DJB mulai membuka kantor
cabang diluar Batavia, yaitu Semarang dan Surabaya. Selanjutnya dalam periode
Oktroi keempat didirikan lima kantor cabang di Jawa maupun luar Jawa yaitu
Padang, Makasar, Cirebon, Solo dan Pasuruan. Kemudian disusul dengan pembukaan
Kantor Cabang Yogyakarta menjelang berakhirnya Oktroi kelima.
Pada
periode Oktroi keenam, DJB yang telah berusia 52 tahun melakukan pembaharuan
dasar pendiriannya dengan Akte Pendirian di hadapan Notaris Derk Bodde di
Jakarta pada 22 Maret 1881. Dalam akte baru tersebut, DJB mengubah statusnya
menjadi Naamlooze Vennootschap (N.V.). Dengan perubahan Akte tersebut, NV.DJB
dianggap sebagai perusahaan baru. Selama berlakunya oktroi keenam, tidak ada
penambahan Kantor Cabang baru. Tetapi justru terjadi penutupan Kantor Cabang
Pasuruan pada 31 Maret 1890 karena selalu menderita kerugian hingga sulit untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oktroi kedelapan adalah Oktroi DJB
terakhir hingga berlakunya DJB Wet pada 1922. Pada periode Oktroi terakhir ini,
DJB banyak mengeluarkan ketentuan baru dalam bidang sistem pembayaran yang
mengarah kepada perbaikan bagi lalu lintas pembayaran di Hindia Belanda. Oktroi
kedepalan berakhir hingga 31 Maret 1921 dan hanya diperpanjang selama satu
tahun sampai dengan 31 Maret 1922.
Periode
De Javasche Bankwet 1922 (1922 – 1942) Pada 31 Maret 1922 diundangkan De
Javasche Bankwet 1922. Bankwet 1922 ini kemudian diubah dan ditambah dengan UU
tanggal 30 April 1927 serta UU 13 Nopember 1930. Pada dasarnya De Javasche
Bankwet 1922 adalah perpanjangan dari oktroi kedelapan DJB yang berlaku
sebelumnya. Masa berlaku Bankwet 1922 adalah 15 tahun ditambah dengan
perpanjangan otomatis satu tahun, selama tidak ada pembatalan oleh Gubernur
Jenderal atau pihak Direksi. Jumlah modal disetor mengalami perubahan, kerena
diperbesar menjadi ƒ 9.000.000,- dan harus dipenuhi dalam jangka waktu yang
ditetapkan oleh Gubernur Jenderal. Pimpinan DJB pada periode DJB Wet adalah
Direksi yang terdiri dari seorang Presiden dan sekurangkurangnya dua Direktur,
satu diantaranya adalah Sekretaris. Selain itu terdapat jabatan Presiden
Pengganti I, Presiden Pengganti II, Direktur Pengganti I dan Direktur Pengganti
II. Penetapan jumlah Direktur ditentukan oleh rapat bersama antara Direksi dan
Dewan Komisaris.
Sedangkan
Dewan Komisaris terdiri dari 5 orang yang merupakan pemegang saham dengan hak
suara (memiliki 4 saham) dan harus seorang Belanda. Dewan berkewajiban untuk
melakukan pengawasan terhadap Direksi, meneliti kebenaran rekening tahunan
berikut pembukuannya sekaligus memberikan persetujuan.
Adapun
pembagian tugas dalam DJB pada periode ini terdiri dari tujuh bagian,
diantaranya Bagian Ekonomi Statistik, Sekretaris, Bagian Wesel, Bagian Produksi
dan Bagian Efek-Efek. Pada periode ini DJB berkembang pesat dengan 16 Kantor
Cabang, antara lain : Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta,
Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Kutaraja, Medan, Padang, Palembang,
Banjarmasin, Pontianak, Makasar dan Manado. Serta kantor perwakilan di
Amsterdam dan New York. DJB Periode Pendudukan Jepang (1942 – 1945)
Pecahnya Perang Dunia II di Eropa terus menjalar hingga ke wilayah Asia-Pasifik, militer Jepang segera melebarkan wilayah invasinya dari daratan Asia menuju Asia Tenggara. Menjelang kedatangan Jepang di pulau Jawa, Dr. G.G. van ButtinghaWichers, Presiden DJB berhasil memindahkan semua cadangan emasnya ke Australia dan Afrika Selatan.
Pecahnya Perang Dunia II di Eropa terus menjalar hingga ke wilayah Asia-Pasifik, militer Jepang segera melebarkan wilayah invasinya dari daratan Asia menuju Asia Tenggara. Menjelang kedatangan Jepang di pulau Jawa, Dr. G.G. van ButtinghaWichers, Presiden DJB berhasil memindahkan semua cadangan emasnya ke Australia dan Afrika Selatan.
Pemindahan
tersebut dilakukan lewat pelabuhan Cilacap. Setelah menduduki Jawa pada
Februari-Maret 1942, bala tentara Jepang memaksa penyerahan seluruh asset bank
kepada Tentara Pendudukan Jepang. Selanjutnya pada April 1942 diumumkan suatu
banking-moratorium tentang adanya penangguhan pembayaran kewajiban-kewajiban
bank. Beberapa bulan kemudian Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Pra
Bank Indonesia Pimpinan Tentara Jepang untuk pulau Jawa yang berada di Jakarta
mengeluarkan ordonansi berupa perintah likuidasi untuk seluruh bank Belanda,
Inggris dan beberapa bank Cina. Ordonansi serupa juga dikeluarkan oleh Komando
Militer Jepang di Singapura untuk bank-bank di Sumatera. Sedangkan kewenangan
likuidasi bank-bank di Kalimantan dan Great East diberikan kepada Navy Ministry
di Tokyo.
Fungsi
dan tugas dari bank-bank yang dilikuidasi diambil alih oleh bank-bank Jepang
seperti Yokohama Specie Bank, Taiwan Bank dan Mitsui Bank, yang pernah ada
sebelumnya dan ditutup oleh Belanda saat mulai pecah perang. Sedangkan untuk
bank sirkulasi di pulau Jawa dibentuk Nanpo Kaihatsu Ginko yang antara
lain melanjutkan tugas Tentara Pendudukan Jepang dalam mengedarkan
invansion money yang dicetak di Jepang dalam tujuh denominasi dari 1 Gulden
hingga 10 Gulden. Sampai pertengahan Agustus 1945 di Jawa telah diedarkan
invansion money senilai 2,4 Milyar Gulden dan di Sumatera senilai 1,4 Milyar
Gulden serta dalam nilai lebih kecil diedarkan di Kalimantan dan Sulawesi.
Sejak 15 Agustus 1945 juga masuk dalam peredaran senilai 2 Milyar Gulden,
sebagian berasal dari uang yang ditarik dari bank-bank Jepang di Sumatera dan
sebagian dicuri dari DJB Surabaya serta beberapa tempat lainnya. Hingga Maret
1946 jumlah uang beredar di wilayah Hindia Belanda berjumlah sekitar 8
Milyar Gulden. Hal tersebut menimbulkan hancurnya nilai mata uang dan
memperberat beban ekonomi wilayah Hindia
Belanda
DJB Periode Revolusi (1945 – 1950)
Setelah
Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, Indonesia segera memproklamirkan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Keesokan harinya, pada 18 Agustus 1945
telah disusun Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan dasar bagi kehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang ditujukan bagi kesejahteraan rakyat
yang adil dan makmur. Penetapan landasan dasar bagi kehidupan dan pembangunan
ekonomi mendapat perhatian yang besar dalam UUD 1945. Hal tersebut tercermin
dalam penjelasan UUD 1945 Bab VIII pasal 23 Hal Keuangan yang menyatakan
cita-cita membentuk bank sentral dengan nama Bank Indonesia untuk memperkuat
adanya kesatuan wilayah dan kesatuan ekonomimoneter. Sementara itu dengan
membonceng tentara Sukutu, Belanda kembali mencoba menduduki wilayah yang
pernah dijajahnya. Maka dalam wilayah Indonesia terdapat dua pemerintahan
yaitu : Pemerintahan Republik Indonesia, yang berkedudukan di Jakarta lalu
hijrah ke Yogyakarta dan Pemerintahan Belanda atau Nederlandsche Indische Civil
Administrative (NICA) yang juga berpusat di Jakarta. Pada 10 Oktober 1945, NICA
membuka akses kantor-kantor pusat Bank Jepang di Jakarta dan menugaskan DJB
menjadi bank sirkulasi menggambil alih peran Nanpo Kaihatsu Ginko. Tidak lama
kemudian DJB berhasil membuka sembilan cabangya di wilayahwilayah yang dikuasai
oleh NICA.
Cabang-cabang
tersebut antara lain: Jakarta, Semarang, Manado, Surabaya, Banjarmasin,
Pontianak, Bandung, Medan dan Makassar. Berikutnya melalui Agresi Militer I,
DJB berhasil membuka kembali kantor cabang Palembang, Cirebon, Malang dan
Padang. Sedangkan cabang-cabang DJB di Yogyakarta, Solo dan Kediri berhasil
dibuka setelah Agresi Militer II. Sedangkan di wilayah yang dikuasai oleh
Republik Indonesia, pada 19 Oktober 1945 dibentuk Jajasan Poesat Bank
Indonesia (Yayasan Bank Indonesia). Tidak lama kemudian Yayasan Bank Indonesia
melebur dalam Bank Negara Indonesia sebagai bank sirkulasi berdasarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2/1946. Namun demikian situasi
perang kemerdekaan dan terbatasnya Unit Khusus Museum Bank Indonesia:
Sejarah Pra Bank Indonesia pengakuan dunia sangat menghambat peran BNI sebagai
bank sirkulasi. Selanjutnya untuk mempersiapkan penerbitan mata uang RI,
Pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah RI No. 2 dan 3. Kedua Maklumat
tersebut mengumumkan tidak berlakunya uang NICA di wilayah RI dan penetapan
beberapa jenis uang yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah
RI. Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) diterbitkan pertama kali pada 30 Oktober
1946.
Dengan
keluarnya ORI, maka uang Jepang serta uang Belanda dinyatakan tidak berlaku
sampai melalui jangka waktu penarikan yang ditentukan. Permasalahan keamanan
akibat perang yang terus berlangsung menyebabkan terhambatnya peredaran ORI ke
segenap wilayah Indonesia. Maka Pemerintah Pusat memberikan wewenang dan jaminan
kepada Pemerintah Daerah tertentu untuk menerbitkan uang kertas atau tanda
pembayaran yang sah dan berlaku secara terbatas di daerah yang bersangkutan.
Uang tersebut dikenal dengan ORIDA dan pada waktunya dapat ditukar dengan ORI.
Periode Pengakuan Kedaulatan RI hingga Nasionalisasi DJB (1950 – 1953)
Terselenggaranya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda pada 1949
telah menandai berakhirnya permusuhan antara Republik Indonesia dan Kerajaan
Belanda. Pada Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia
sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada saat itu, sesuai
dengan keputusan KMB, fungsi bank sentral tetap dipercayakan kepada DJB.
Pemerintahan RIS tidak berlangsung lama, karena 15 Agustus 1950 pemerintah
Republik Indonesia Serikat (RIS) membatalkan isi perjanjian KMB dan memutuskan
kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Meskipun demikian
kedudukan DJB tetap sebagai bank sirkulasi.
Berakhirnya
kesepakatan KMB ternyata telah mengobarkan semangat kebangsaan yang terwujud
melalui gerakan nasionalisasi perekonomian Indonesia. Maka, masih dalam napas
yang sama, timbul keinginan untuk merubah DJB yang masih berstatus swasta untuk
menjadi milik negara. Lebih jauh dari itu, Republik Indonesia sebagai negara
merdeka dan berdaulat seyogyanya harus memiliki bank sentral yang bersifat
nasional. Berkaitan dengan itu pada 28 Mei 1951 Perdana Menteri Sukiman
Wirjosandjojo dihadapan Parlemen mengumumkan kehendak Pemerintah untuk
menasionalisasi DJB. Mendengar pengumuman itu, Dr. Houwink, selaku
Presiden DJB, merasa terkejut karena tidak diberitahu terlebih dahulu,
sehingga mengundurkan diri dari jabatannya. Kemudian Houwink diberhentikan
dengan hormat dan sebagai penggantinya diangkat Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai
Presiden DJB baru. Pada 19 Juni 1951 pemerintah membentuk Panitia Nasionalisasi
DJB yang akan mengkaji usulan langkah nasionalisasi, menyusun RUU nasionalisasi
dan sekaligus merancang undang-undang bank sentral. Selanjutnya pada 15
Desember 1951 diumumkan undang-undang No. 24 tahun 1951 tentang Nasionalisasi
DJB. Nasionalisasi dilaksanakan melalui pembelian 99,4% saham DJB senilai 8,9
juta Gulden. Setelah itu Rancangan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia diajukan
ke parlemen pada September 1952. RUU tersebut kemudian disetujui oleh parlemen
pada 10 April 1953, disahkan oleh Presiden pada 29 Mei 1953 dan akhirnya
dinyatakan mulai berlaku sejak 1 Juli 1953. Sejak saat itu bangsa Indonesia
telah memiliki sebuah lembaga bank sentral dengan nama Bank Indonesia.
Sumber :
http://elraud.wordpress.com/2013/05/26/sejarah-bank-sentral-di-indonesia-klipingmedia-com/